![]() |
Bandara pertama di Lombok adalah Bandara Rambang, Bandara ini beropreasi pada zaman penjajahan. (foto/hjadesta.kemenparekraf.go.id) |
Lombok Timur, LokalNews.id - Jejak sejarah penerbangan dunia yang sempat melekat di Pantai Rambang, Desa Surabaya, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, kini semakin kabur. Area yang dulunya menjadi bagian dari reli udara bergengsi The MacRobertson Air Race pada 1934, kini telah beralih fungsi menjadi kawasan tambak udang.
Langkah alih fungsi ini dimulai pada 2023, ketika Pemerintah mengubah area bekas Lapangan Terbang Rambang menjadi sentra budi daya perikanan. Tidak sedikit pihak yang mempertanyakan keputusan tersebut, mengingat lokasi ini merupakan situs bersejarah yang memiliki makna penting dalam konteks kolonialisme dan sejarah penerbangan di Asia Tenggara.
Jejak Reli Udara Dunia di Langit Lombok
Mengutip data dari laman resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, hjadesta.kemenparekraf.go.id, pada 20 Oktober 1934, dunia menyaksikan dimulainya The MacRobertson Air Race. Reli udara ini menghubungkan London, Inggris, dan Melbourne, Australia, melintasi berbagai negara dalam jarak tempuh lebih dari 18.000 kilometer.
Reli yang digagas Royal Aero Club tersebut diikuti puluhan pesawat dari berbagai negara, dengan hadiah utama sebesar USD 75.000—jumlah yang sangat besar di masa itu. Demi kelancaran misi ini, panitia menyediakan lima pitstop utama: Baghdad (Irak), Allahabad (kini di India), Singapura, Darwin, dan Charleville (Australia).
Selain itu, 22 bandara cadangan disiapkan sebagai lokasi transit darurat, salah satunya adalah Lapangan Terbang Rambang di Lombok Timur.
Keberadaan bandara ini menempatkan Pulau Lombok dalam peta penerbangan internasional, meskipun hanya sesaat. Namun fakta tersebut menjadikan Rambang sebagai bandara pertama yang dikenal di kawasan Nusa Tenggara dan bahkan diduga sebagai salah satu yang pertama di Indonesia.
Dilema antara Sejarah dan Ekonomi
Kini, kawasan Rambang telah berubah fungsi total. Di atas bekas landasan yang pernah disinggahi pesawat-pesawat tercepat era 1930-an, berdiri barisan tambak udang. Bagi pemerintah, ini adalah langkah untuk meningkatkan produktivitas lahan dan mendongkrak perekonomian warga pesisir. Namun, bagi sejarawan dan pegiat budaya, ini adalah kehilangan yang tak tergantikan.
Minimnya upaya pelestarian terhadap situs ini menambah panjang daftar pengabaian warisan sejarah di daerah. Tidak ada papan informasi, plakat, ataupun penanda yang menunjukkan bahwa tempat ini pernah menjadi bagian dari sejarah besar penerbangan dunia.
Sejumlah pemerhati sejarah lokal bahkan menilai alih fungsi tersebut sebagai bagian dari “penghapusan sejarah secara perlahan”, di mana identitas masa lalu dikorbankan demi kepentingan jangka pendek.
Masa Depan Situs Sejarah?
Pertanyaannya kini adalah: apakah pembangunan harus selalu berhadapan dengan pelestarian sejarah? Apakah tidak mungkin sebuah kawasan menjalankan fungsi ekonomi tanpa menanggalkan identitas masa lalunya?
Rambang mungkin tidak lagi menjadi saksi reli udara legendaris, tapi semestinya ia tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Lombok Timur. Setidaknya, sebagai pengingat bahwa daerah ini pernah menjadi bagian penting dari narasi global yang kini justru lebih banyak dikenang di luar negeri. (*)