![]() |
| Rapat evaluasi APBD Perubahan Tahun 2025 di ruang rapat pimpinan DPRD Lombok Timur. Foto/istimewa |
Selong, LokalNews.id - Sejumlah rencana belanja Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lombok Timur (Lotim) dalam APBD Perubahan 2025 dicoret oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Kebijakan ini bukan sekadar soal anggaran, tapi memantik kekhawatiran terhadap belanja daerah tertunda, utang jatuh tempo, dan kemiskinan yang bisa semakin bertambah.
Anggota DPRD Lombok Timur, Lalu Hasan Rahman, menyebut akar masalahnya bukan pada kabupaten, melainkan pada lambannya evaluasi APBD oleh Pemprov NTB. Menurutnya, evaluasi dilakukan terlalu akhir, padahal semestinya waktu sudah masuk tahap pelaksanaan program.
“Evaluasi ini selalu di penghujung waktu. Harusnya sejak awal Pemprov menegaskan batas penyampaian APBD dari kabupaten/kota. Tapi yang terjadi justru evaluasi dilakukan ketika anggaran seharusnya sudah dijalankan,” kata Hasan kepada wartawan, Kamis (23/10).
Ia menjelaskan, keterlambatan ini bukan peristiwa baru. Setiap tahun, proses evaluasi antara Pemprov dan kabupaten/kota selalu berulang di waktu yang sempit. Akibatnya, pemerintah daerah akan kesulitan menyesuaikan jadwal kerja dan serapan anggaran.
“Kami sering menyurati Pemda agar jadwal disampaikan tepat waktu sesuai undang-undang. Tapi begitu sampai ke provinsi, tetap saja molor. Kalau pusat bisa beri sanksi ke provinsi, kenapa provinsi tidak bisa beri sanksi ke kabupaten/kota?” ujarnya.
Ia menilai ketidaktegasan Gubernur NTB menjadi faktor utama. Tanpa instruksi yang jelas kepada tim evaluasi anggaran pemerintah daerah, jadwal penyusunan dan evaluasi tak pernah konsisten.
“Kalau ada ketegasan dari gubernur, semua pasti disiplin. Tapi kalau dibiarkan, hasilnya seperti ini—eksekusi anggaran tertunda, ekonomi stagnan, kemiskinan naik,” tegasnya.
Bagi Hasan, keterlambatan evaluasi bukan persoalan administratif semata. Efeknya langsung terasa di lapangan, program bantuan sosial dan proyek infrastruktur besar tidak bisa terealisasikan.
“Sekarang ini waktunya pelaksanaan, bukan evaluasi lagi. Kalau bulan Oktober ini masih membahas perubahan, proyek besar tak akan selesai, dan jatuh tempo bisa menumpuk,” katanya.
Kondisi ini, lanjut Hasan, bisa menghambat pertumbuhan ekonomi di tingkat daerah, memperlambat penyerapan tenaga kerja, dan memperburuk angka kemiskinan di kabupaten maupun kota di NTB.
Menurut ketua Komisi IV DPRD Lotim itu, evaluasi APBD seharusnya dilakukan sejak tahap perencanaan, bukan ketika anggaran sudah disahkan. Hasan menilai, pendekatan Pemprov yang hanya fokus pada angka dan nominal menyebabkan ketidakefisienan birokrasi dan hilangnya momentum pelaksanaan pembangunan.
“Kalau evaluasi baru dilakukan pada angka uangnya, itu sudah terlambat. Evaluasi seharusnya melihat rencana program sejak awal. Mana yang realistis, mana yang perlu dipangkas. Kalau begini terus, kapan ekonomi bisa tumbuh?” ujarnya.
Lebih lanjut, Kasus Lotim membuka kembali persoalan klasik hubungan fiskal antara provinsi dan kabupaten/kota. Di atas kertas, evaluasi APBD oleh pemerintah provinsi bertujuan menjaga kesesuaian antara kebijakan daerah dengan prioritas nasional. Namun di lapangan, proses ini kerap menjadi bottleneck yang memperlambat belanja publik.
Akibatnya, bukan hanya realisasi anggaran yang tersendat, tetapi juga kepercayaan publik terhadap efektivitas birokrasi daerah. Lotim, dengan penduduk terpadat di NTB, membutuhkan kecepatan eksekusi anggaran untuk mendorong pembangunan dan menekan kemiskinan.
“Kalau DPA belum keluar sampai sekarang, bagaimana mau membelanjakan anggaran? Bagaimana mau menekan kemiskinan kalau belanjanya saja belum jalan?” pungkas Lalu Hasan Rahman. (ln)

