![]() |
Salah seorang guru kelas di Sekolah Dasar Negeri 6 Batuyang, Pringgabaya, Lombok Timur, sedang mengajar siswanya di halaman sekolah. dok/ong |
Selong, LokalNews.id –Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lombok Timur (Dikbud Lotim), mewacanakan kebijakan baru untuk mengatasi krisis jam mengajar dengan meminta guru mata pelajaran (mapel) SMP menjadi guru kelas di sekolah dasar (SD). Langkah ini diambil seiring banyaknya guru SD yang akan pensiun tahun ini, mencapai 284 orang.
Dikbud berharap guru SMP yang sudah bersertifikasi bisa memenuhi beban kerja minimal 24 jam, salah satu syarat pencairan tunjangan profesi, dengan mengajar juga di tingkat SD. Namun, wacana ini menuai beragam reaksi, terutama dari kalangan guru dan kepala sekolah.
Salah satu pengamat pendidikan, Lalu Suandi, menilai pendekatan ini berisiko menimbulkan persoalan baru jika tidak dikaji secara matang.
“Apakah wacana ini konsepsional atau emosional? Butuh kajian yang lebih cermat,” ujar Suandi, kepada media ini, Senin (2/6).
“Apa karena SD kekurangan guru kelas, atau karena guru SMP tidak punya cukup jam mengajar? Jangan-jangan justru di SD juga banyak guru yang kekurangan jam,” tambahnya.
Menurut Suandi, perbedaan mendasar antara guru kelas SD dan guru mapel SMP bukan sekadar teknis, tapi juga pendekatan pengajaran. Guru SD mengajar banyak mata pelajaran dalam satu kelas, sementara guru SMP hanya fokus pada satu bidang ilmu.
“Kalau guru SMP dipindah menjadi guru kelas, tentu butuh waktu adaptasi. Jangan sampai solusi ini justru membuka masalah baru,” katanya.
Ia mendorong agar Dikbud lebih bijak dengan mempertimbangkan pemerataan dan rasionalisasi jumlah tenaga pendidik di setiap satuan pendidikan sebelum mengambil langkah instan.
"Sebaiknya Dikbud mewacanakan rasionalisaai jumlah tenaga guru disetiap satuan pendidikan tentu termasuk dengan cara meratakan sebarannya,"tutupnya. (*)