![]() |
Kawasan kaki Gunung Rinjani dikeruk atas nama pengembangan pariwisata. Foto/lokalnews.id |
Sembalun, LokalNews.id – Aktivitas pengerukan lahan skala besar di Desa Sembalun Bumbung, Kabupaten Lombok Timur, menuai protes keras dari komunitas lingkungan dan masyarakat setempat. Pengerukan yang disebut-sebut demi pengembangan pariwisata itu dinilai mengancam kelestarian lingkungan dan berpotensi memicu bencana longsor serta banjir.
Komunitas Pemerhati Lingkungan Hidup (KPLH-SEMBAPALA) bersama Solidaritas Masyarakat Peduli Sembalun (SMPS) menegaskan, proyek yang diduga digarap investor di area perbukitan dan dekat hutan itu sangat berisiko. Mereka menilai pembangunan yang mengatasnamakan pariwisata tidak boleh mengorbankan keselamatan warga.
“Kami sangat menyayangkan hal ini terjadi di bukit maupun tempat-tempat yang berdekatan langsung dengan hutan. Sangat miris sekali melihat hal-hal seperti itu karena tidak satu dua kali setiap datang musim hujan selalu terjadi longsor,” kata Yamni, anggota SMPS, Selasa (23/9).
Ia juga mempertanyakan sikap lembaga adat maupun lingkungan yang dinilai abai terhadap aktivitas tersebut. “Seharusnya lembaga-lembaga ini yang memperhatikan aktivitas investor di lereng bukit,” tambahnya.
Yamni menegaskan masyarakat tidak menolak investor, namun meminta ada aturan tegas agar pembangunan tidak merusak alam. Ia mengingatkan potensi terulangnya tragedi longsor besar yang pernah melanda Sembalun pada 2006 dan 2012.
Sementara itu, Ketua KPLH-SEMBAPALA, Rijalul Fikri, menyoroti ketiadaan regulasi yang memperparah situasi. Menurutnya, status lahan pribadi serta belum adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) membuat advokasi sulit dilakukan.
“Yang membuat kita sulit mengadvokasi karena itu milik pribadi. Sampai saat ini RTRW belum disahkan, jadi tidak ada dasar hukum yang kuat untuk menindak,” ujarnya.
Ia menilai pemerintah daerah terkesan menutup mata terhadap persoalan ini, padahal dampaknya sangat serius. “Bukan berarti masyarakat menolak investor, tapi jangan semau-maunya karena ada hak-hak umum yang bisa terdampak,” tegasnya.
Di sisi lain, Kepala Desa Sembalun Bumbung, Suniardi, mengaku tidak mengetahui adanya pengerukan lahan tersebut. Ia menjelaskan, desa tidak memiliki kewenangan melarang karena regulasi dari pemerintah daerah belum ada.
“Kami tidak pernah diinformasikan terkait pengerukan itu. Jika pun ada, kami tidak bisa intervensi karena regulasi payung hukum belum ada jadi acuan,” katanya.
Suniardi berharap pemerintah daerah hingga pusat segera membuat aturan tegas agar desa tidak selalu menjadi sasaran kemarahan masyarakat.
Ia juga menyebut sebagian besar jual-beli tanah investor dilakukan langsung melalui notaris tanpa sepengetahuan desa, sehingga pengawasan semakin sulit. (ln)