![]() |
Pengerukan lereng bukit, di Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun. Foto/istimewa |
Lombok Timur, LokalNews.id — Keindahan alam Sembalun yang dikenal sebagai “permata” kaki Rinjani kini terancam memudar. Sejumlah titik di kawasan ini—termasuk lereng Bukit Pergasingan di perbatasan Desa Sembalun Lawang dan Sembalun Timba Gading sebagai lokasi tembang Galian C. Penambangan juga terlihat di Desa Sembalun Bumbung hingga kawasan bekas tambang di sekitar kantor Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).
Alih-alih mendukung pariwisata, pengerukan tersebut justru merusak bentang alam dan memicu kekhawatiran warga. Pemerintah Desa Sembalun Lawang menilai aktivitas itu diduga belum memiliki izin yang jelas dan berpotensi merusak lingkungan serta lahan pertanian warga.
“Kami investigasi apa dasarnya melaksanakan pengerukan ini, sambil koordinasi dengan pihak atasan, terutama Dinas PUPR bidang Tata Ruang. Apakah pengerukan di bukit-bukit ini boleh atau tidak,” kata Plt Kepala Desa Sembalun Lawang, Burhanuddin SH, tidak lama ini.
Burhanuddin menegaskan, kondisi tanah di sekitar lokasi pengerukan labil dan rawan longsor saat musim hujan. “Ini jelas membahayakan bagi masyarakat yang ada di bawah bukit itu, terutama pemilik lahan persawahan. Dampaknya sudah terlihat,” ujarnya.
Keluhan petani terkait ancaman gagal panen mencuat ke permukaan setelah sedikitnya 20 orang pemilik lahan dengan luas sekitar 4 hektare mengadu ke pemerintah desa. Mereka menyoroti tumpahan material galian yang menimbun area pertanian, hingga memicu kekhawatiran banjir dan longsor.
Pemerintah desa sebelumnya telah meminta penghentian sementara pengerukan. Namun, kata Burhanuddin, “Kami seperti diajak main kucing-kucingan oleh penanggung jawab lokasi. Aktivitas kembali dilanjutkan keesokan harinya.”ujar dia.
Kerusakan Lingkungan dan Sosial
Selain mengganggu lahan pertanian, pengerukan juga menimbulkan kemacetan di Jalan Lingkar Sembalun karena aktivitas alat berat. Warga juga mengingatkan potensi bencana, mengingat wilayah ini pernah dilanda banjir bandang pada 2006 dan 2012.
“Bukan hanya berdampak pada lingkungan, tapi juga sosial bagi masyarakat,” tegas Burhanuddin.
Pemdes bersama Muspika Sembalun berencana membawa kasus ini ke tingkat Kabupaten Lombok Timur, untuk hearing dan menuntut ganti rugi bagi petani terdampak.
Seruan Warga: Segera Tuntaskan Tata Ruang
Protes juga datang dari organisasi lokal seperti Sembapala dan SMPS. Ridu, warga Sembalun Lawang yang mewakili kedua organisasi, menilai pengerukan melanggar kearifan lokal masyarakat Sembalun yang selama ini menjaga lereng bukit dengan tanaman penahan erosi seperti bambu dan kopi.
“Dengan alasan apa pun, siapa pun pelakunya, semestinya memikirkan dampaknya. Jangan sampai kebablasan,” kata Ridu.
Ia menyoroti lambannya pembahasan Rencana Detail Tata Ruang (RDTL) wilayah Sembalun yang sudah lebih dari empat tahun tak kunjung selesai.
“Apakah kita harus menunggu kerusakan lebih parah baru bertindak, atau menunggu ada korban?” kritiknya.
Ridu mendesak Pemkab Lombok Timur segera menuntaskan RTRW kabupaten dan memasukkan RDTL Sembalun sebagai acuan pembangunan agar zona hijau dan kawasan pertanian terlindungi.
“Harapan kami, Pemkab Lombok Timur segera menuntaskan RDTL wilayah Sembalun dan memasukkannya ke dalam RTRW,” pungkasnya. (ln)